Rabu, 10 Oktober 2012

part I


Pagi ini aku menanyakan padamu siapa yang telah berhasil masuk kedalam hatimu? Karena secara kebetulan tiba-tiba kau menyapaku di kolom chatting. Dan kau menanyakan kapan aku akan singgah kembali ke kotamu? Lantas aku tersenyum. Dan kembali melanjutkan pertanyaan sederhana yang kau  jawab dengan hal yang tidak aku duga. Kau merindukan aku. Ah jika saja aku masih begitu polos dan lugu, pastinya aku akan sangat bahagia mendapatkan jawaban semacam itu darimu. Kau sempurana dimataku. Dan jika saja tak terlalu banyak masa lalu yang melewatiku, aku pasti akan sangat bangga bisa mengenalmu.
Masa lalu itu seperti sebuah sekat untukku. Membatasi setiap ruang gerakku. Seperti sebuah cermin yang selalu membisikan sesuatu tentang diriku. Dan menarikku jika aku telah melampaui ambang batas. Ambang batas untuk sekedar melihat matamu. Dan masa lalu itu seperti sebuah tali yang selalu mengikat aku untuk tidak mencoba hal yang sangat jauh dari jangkauanku. Layakanya dirimu.
Aku tersenyum menanggapi setiap kata yang berjajar rapi. Setiap kata yang muncul, akan memunculkan pula rangkaian memory yang tersusun acak namun tetap berurutan.kulihat sekilas senyumnya yang hanya segaris. Dan kulihat pula diriku yang pada saat itu masih begitu terpaku padamu.
kulihat sepintas dimataku ada cahaya yang berpendar. Dan kutahu bahwa itu karena dirimu. Kemudian melintas lagi ingatan yang masih terekam jelas. Bahwa aku pada saat itu akan selalu tersenyum ketika membicarakanmu. Ada hal yang luar biasa yang terjadi padaku saat itu. Dan sekali lagi itu karenamu.
Terkadang aku akan begitu tidak adil. Menilaimu tanpa ijin. Ku kira aku tak pernah tau dirimu sejauh ini. Dan setiap kali aku memikirkan dirimu, ada banyak pertanyaan yang tak pernah mampu aku jawab. Pertanyaan yang membuatku ciut. Dan membangkitkan ketakutan yang amat dalam. Semacam perasaan yang sama saat dimana kamu memenangkan sebuah perlombaan, namun saat kau telah berdiri di podium, ternyata sang Juri salah memanggil namamu. Dengan semua keberanian yang tersisa kamu akan mendongak dan memastikan keberadaan dirimu. Yah, aku takut bahwa suatu ketika aku akan merasakan ketakutan juga rasa malu yang amat dalam merasuki setiap aliran darahku seperti itu. Setiap kali aku memikirkan kamu, aku merasa bahwa seharusnya aku tak pernah memikirkan kamu. Namun setiap kali itu pula, aku selalu melupakan ketakutan itu. Dan mengabaikan rasa malu.
 Aku mungkin gadis yang masih lugu waktu itu. Dan segala hal akan kamu selalu membuatku tertarik. Aku mungkin gadis yang tak pernah ragu mencintai seseorang. Karena pada kenyataannya kamu masih membuatku terpaku. Bahkan sampai saat ini. Jika saja kamu tahu, bahwa aku memperhatikanmu dari kejauhan. Dan jika saja kamu tahu, bahwa aku, dulu juga sekarang masih selalu ingin tahu tentang dirimu. Namun aku tak ingin kamu tahu aku. Karena aku kini berada dillingkaran masa lalu yang menghalangiku untuk sekedar berbincang-bincang denganmu. Karena aku yang kini tidak selugu masa lalu. Dan karena kamu begitu menyialukan aku. Bahkan disaat mataku berpendar karenamu. Aku masih belum bisa menatap dirimu. Karenanya aku hanya mampu menangkap bayanganmu. Dan setidaknya aku mampu menatap bayanganmu tanpa perlu mengimbangi silaunya sinarmu.
Kamu mungkin mengajukan pertanyaan yang kamu anggap lucu. Berlaga seolah-olah kamu tahu bahwa aku menatapmu begitu lama. Dan dengan gurauan itu, kamu tahu? Aku merasa sakit.sakit karena kamu berlagak tahu aku. Dan aku pun masih selalu tersenyum menjawab pertanyaanmu. Jika saja kamu tahu bahwa terrkadang ada fakta dalam setiap tulisan yang berjajar rapi itu. Yang dalam beberapa detik akan kau baca, maka aku akan mendapati diriku berada diambang batas yang seharusnya tak pernah aku jamah. Dan jika saja aku telah melewati ambang itu, maka kupastikan sinar yang akan selalu kulihat, beranjak menjauh dariku. Yah, kau akan menjauh. Menyisakan guratan kesedihan dalam sinarmu. Dan pada akhirnya aku tak akan pernah mendapati seberkas sinar yang selalu menyilaukan aku. Tak pernah bisa menatap bayangan yang membuatku damai. Atau aku akan kehilangan rasa was-was yang selalu menghantui aku kala aku menengokmu lewat dinding tebal itu.
Ketika aku memutuskan memperhatikan seseorang, aku tak pernah berpikir bahwa aku akan mendapat perhatian pula dari dirinya. Dan itu selalu aku lakukan hingga sekarang. Ini mungkin karena aku adalah gadis dungu. Dungu karena aku telah tahu bahwa kamu adalah sinar, dan aku adalah bayangan. Dungu karena aku tahu bahwa kamu adalah puncak yang tak akan pernah mampu aku tuju. Dan dungu karena aku tahu bahwa memperhatikanmu adalah hal terberani dalam hidupku. Namun aku masih tetap melakukan itu.
Aku akan bertanya pada siapa saja tentang apa itu cinta, dan bagiamana bentukanya? Namun ketika seseorang dengan suka rela memaparkan jawabannya, aku akan berlari menutup telinga. Tak pernah berani mendengarkan penjelasan tentang cinta walau hanya satu katapun. Dan setiap kali aku bimbang, maka aku akan bersembunyi dan mengakhiri semuanya. Tanpa pernah tahu jawaban yang sebenarnya.
Adakalanya aku begitu tak tahan dengan sekat masa lalu yang selalu membebaniku. Dan sahabatku selalu memberiku semangat untuk datang padamu. Dan menanyakan apakah aku ada didalam pikirannya? Apakah aku pernah membuatnya khawatir, apakah aku pernah sejenak membuatnya tersenyum, atau apakah aku ada dihatinya walau hanya semenit? Namun ketika aku memikirkan jawaban yang mungkin akan keluar dari mulutmu, aku sudah lumpuh. Tak pernah bisa bergerak ke arahmu.karenanya aku selalu memutuskan berhenti dititik ini. Dan memilih melihatmu dari jauh.
Aku mungkin gadis paling egois yang pernah ada. Karena dari pada menyakan perasaanmu? Aku lebih memilih diam dan menjaga hatiku lebih aman. Menjauhkan hatiku dari berbagai hal yang kemungkinannya adalah membuatnya hancur. Karenanya aku tak pernah mau tahu perasaanmu.
Ada rasa kecewa saat kamu mengatakan bahwa kau merindukanku. Meski pada dasarnya aku tahu bahwa kau selalu menganggap ini gurauan. Karena dengan kamu melakukan ini, aku akan bertanya dalam hati. Bahwa, apakah kau juga melakukan hal yang sama terhadap gadis lain? Apakah aku bukan satu-satunya yang mendapatkan candaan seperti itu? Dan aku selalu memilih jawaban yang paling buruk. Dan selalu menilaimu dengan penilaianku yang paling buruk, meski aku tahu, bahwa itu tidak benar, toh aku masih belum bisa mengubah jawabanmu yang aku jawab sendiri. Yah kau tahu, itu karena aku memang gadis paling egois.
Dan kini, pada saat ini. Aku mengetik kata-kata yang berderet rapi ini dengan senyuman. Kau tanyakan apakah aku sudah mendapat penggantimu? Ingin rasanya kujawab dengan sepatah kata, ‘belum’ namun tetap saja ketakutan dan keegoisanku untuk  menjaga hatiku lebih besar dari rasa ingin tahu terhadapmu. Maka aku mengatakan bahwa aku masih sibuk dengan hatiku sendiri. Jika mungkin kamu mendapati tulisanku tentangmu, aku sangat yakin bahwa kau akan sangat marah, atau tak habis pikir terhadapku? Mengapa aku melakukan ini, dan mengapa aku lebih memilih bercerita, kenapa aku tidak mengatakan langsung padamu? karena pada dasarnya aku terlalu takut dan tak pernah berani mendongak disaat aku malu. Dan aku menemukan tulisan yang tak pernah akan menjawab setiap kata atau setiap pikiranmu tentangku. Karena aku gadis paling egois. Yang akan menjaga hatiku untuk tak pernah terluka kembali. Dan ketika aku menuliskan ini, pada dasarnya aku sedang berdiri jauh dibelakangmu. Tersenyum padamu,dirimu yang tak pernah tahu bahwa aku disitu. Melambaikan tanganku yang tak pernah dibalas lambaian. Namun aku bahagia. Karena aku menemukanmu disela-sela ketakutanku dan rasa malu yang sebenarnya belum pernah terungkap keberadaan dan kebenaran akan setiap prasangkaku.
Dengan setiap kebahagiaan yang ada aku menuliskan ini untukmu. Jadi maafkan aku tak pernah bertanya padamu.

                                                                                                                Semarang, Pedurungan Lor
                                                                                                                11 Oktober 2012
                                                                                                                By. Laelatul Mubadingah

1 komentar: