Minggu, 30 September 2012

kekalahanku

KEKALAHANKU Kicau burung menemaniku pagi ini. Embun masih mengepul dari mulutku kala aku menghempaskan udara keluar dari paru-paruku. Pagi ini aku duduk manis di depan sebuah gedung tua. Tujuanku satu-satunya adalah melihatnya kemudian pergi. Untuk sekedar melihat dan memastikan keberadaannya dihatiku. Telah banyak yang aku alami disini. Tepatnya di depan gedung ini. Mungkin hanya gedung ini yang tau perasaanku. Dari setiap hari yang aku lakukan, hanya gedung ini yang selalu memperhatikan aku. Aku menahan dingin yang menggigit tulangku. Seolah kain tebal yang melilit tubuhku kalah saing oleh embun musim kemarau. Kakiku rasanya telah pergi meninggalkan aku juga. Karena setiap kali aku gerakan jari-jari yang tersembunyi dalam sepatu kets ini tidak ada rasa apapun yang kudapat. Maka kuputuskan untuk membuat sedikit gerakan agar ada sedikit kalori yang terbakar. Aku berlari kecil di sekitar tempat itu. Sambil terus memikirkan apa yang akan aku lakukan jika aku bertemu dengannya. Terkadang aku merasa kalo aku ini sudah gila. Gigiku makin memainkan perannya saat dingin datang. Semacam telah disetting untuk terus gemeletuk. Rupanya udara dingin pegunungan lebih hebat dari pada usahaku untuk sedikit membakar kalori. Kuputuskan untuk duduk kembali dan melihat keranjang sepedaku. Aku hampir lupa bahwa aku juga membawa Novel kesini. Novel hanya mengeong lirih, kemudian pergi tidur lagi. Aku tersenyum. Dia begitu mudahnya menghilangkan dingin. Kupikir mungkin jika aku memiliki bulu selebat dia, aku tak perlu berlarian bodoh seperti ini. Arlojiku menunjukan pukul tujuh. Jika kuingat-ingat aku hampir hafal setiap jadwal kelasnya. Sama seperti gedung ini yang telah hafal dengan kedatanganku. Jika gedung ini dapat bicara mungkin dia akan berkata atau bertanya ‘ah kau kembali lagi, kau tak pernah jera rupanya.. cinta macam apa yang kau punya?’. Dan mungkin aku akan mengajaknya ngobrol. Mungkin gedung tua ini mampu memberiku sedikit gembaran yang lebih baik dari pada manusia. Ku ambil coklat pasta yang biasa ku emut kala gelisah datang. Ah coklat ini selalu memberiku perasaan damai. Jika saja perasaan damai itu berasal darinya? Aku tak perlu ada disini bukan? 
Pernah suatu hari aku menunggunya di bawah gerimis. Sambil menenteng kotak makan. Saat itu musim hujan pertama. Aku berdiri dengan sangat was-was. Takut kalau dia tak menerima kotak yang aku siapkan pagi ini. Dan jika itu terjadi betapa malunya aku saat itu. Genggaman tanganku terhadap kotak itu begitu keras, mungkin akan terasa sakit jika aku mengacuhaknnya. Namun yang jadi pikiranku saat itu bukan rasa sakit ditanganku. Saat kulihat dia keluar dari gedung tua ini, aku langsung saja melambaikan tanganku. Masih dengan memikirkan kemungkinan selanjutnya hal yang akan terjadi beberapa menit mendatang. Kupejamkan mata sejenak. Aku ingin agar tiba-tiba aku berpindah tempat. Dan mendapati diriku tidak berada disini. Kubuka mataku perlahan, dan betapa groginya aku saat kulihat dia berjalan kearahku. Kemudian dia datang menghampiriku. Rasanya kebahagiaan luar biasa yang aku rasakan. Juga rasa takut dan malu yang beradu jadi satu. Yang mungkin jika aku jabarkan satu persatu aku akan bingung membagi perasaan itu. Dalam hati aku terus meminta pada Tuhan agar semuanya berjalan lancar. Kemudian aku memberikan kotak yang dari tadi menunggu untuk di berikan padanya. Dia menerimanya. Bahkan dia memberitahuku untuk menunggunya selepas kelas usai sore itu. Tak pernah ku bayangkan dia mengatakan hal itu. Maka aku tersenyum dan melihat punggungnya yang semakin mengecil dengan kepergiannya membawa kotak makan yang aku siapkan. Saat itu aku benar-benar berharap waktu berpihak padaku, dengan membiarkan sejenak dan menghentikan putaran arloji. Agar aku dapat merasakan perasaan ini lebih lama. Ah kurasa aku terpaku begitu lama, hingga Novel yang aku bawa mulai merasa bahwa aku mengabaikannya. Dan suara Novel yang menarikku dari waktu yang kurasa berhenti. Aku tersenyum dan memberi Novel banyak sarden. Kurasa Novel juga merasakan kebahagian yang sama. Sesuai perasaan yang aku rasakan kini. Mungkin Novel mengetahuinya. Aku pulang dengan memuntun sepedaku, aku menikmati setiap langkah perjalananku. Bahkan kurasa hari ini lebih indah dari hari sebelumnya. Bibirku tak henti-hentinya menyunggingkan senyum mungkin orang yang menjumpaiku saat itu akan mengernyit dan bertanya dalam hati, ah betapa bodohnya gadis itu. Tapi aku tak peduli. Dan terus menuntun sepedaku, Novel yang tidur didalam kandang yang sengaja aku desain untuk membawanya kemanapun aku pergi dengan sepeda. Jika aku mengingat kejadian itu rasanya hatiku berdebar cepat. Dan entah mengapa, aku belum mampu mengatur perasaanku saat itu. Setelah kejadian itu, aku jadi lebih sering datang kesini, dan menunggunya kemudian pergi. Terkadang untuk memberikan oleh-oleh dari perjalananku padanya. Saat itu kebahagianku adalah cukup memastikan apa yang aku bawa diterima olehnya. Dan mendengar suaranya adalah cukup untukku. Mungkin juga aku gadis paling naif saat itu. Aku menjadi lebih bahagia. Dan ku akui, bahwa itu adalah cinta yang pertama aku rasakan. Hah, meski aku tau bahwa aku gadis bodoh, toh aku tetap melakukan hal itu. 
Novel adalah teman yang paling bisa mendengarkan aku. Karena setiap kali aku pulang dari tempet ini, dia yang pertama aku beri tahu kronologi setiap apa yang terjadi. Dan dia selalu tidur dipangkuanku saat aku memulai cerita. Kadang aku curiga padanya. Dia tidur dipangkuanku karena ceritaku atau karena belaianku. Tapi aku tak pernah mempermasahkan hal itu. Sama halnya dengan dia. Dia menerima apa yang selalu aku beri karena aku atau karena dia menginginkan itu, aku pun tak pernah tau sampai saat ini. Kembali karena aku adalah gadis paling naif saat itu. Hingga aku enggan mengetahui alasan semacam itu. Karena bagiku melihat dan memastikan dia menerima pemberianku sudah merupakan kebahagianku saat itu. Pernah suatu ketika pikiranku digoyahkan oleh sahabatku yang selalu tahu aku melebihi diriku sendiri. Aku menceritakan setiap hal yang aku lakukan ditempat ini. Dia adalah teman juga sahabatku semenjak dari SMP hingga aku kini berusia 20 tahun. Dan bersama dia pula aku selalu menghabiskan waktuku. Bisa dibilang dia adalah wanita yang selalu mengerti aku. Bahkan ketika diriku sendiri tak pernah mengerti. Dia selalu mendengarkan setiap ceritaku. Hal ini terjadi ketika kami berlibur bersama, karena ku akui setelah lulus SMA kami sangat sulit bersama-sama. Maka pada saat itu, aku menceritakan semua yang aku alami dan aku rasakan padanya saat itu. Aku tak pernah mengharapkan jawaban atau komentar dari setiap yang aku ceritakan. Namun pada kenyataanya dia bertanya akan hal yang tak pernah aku tanyakan pada perasaanku. Pertanyaan yang saat ini juga aku tanyakan pada diriku sendiri. Sangat simple sebenarnya. “apakah kamu tau alasan dia menerima setiap yang kamu beri?” Jawaban yang aku beri saat itu adalah hanya gelengan kepala. Kemudian dia kembali bertanya. “jadi bagimana jika dia hanya merasa kasihan terhadapmu? Sedangkan kamu merasa bahagia untuknya, tidakkah itu begitu lucu? “ “bagiku alasan apapun yang dia berikan tidaklah masalah buatku.. selama aku bisa melihat dia dan mendengarnya dia berkata sesuatu meski hanya ucapan terima kasih, adalah hal yang membahagiakan. Bukankah itu luar biasa? Aku bisa memperhatikannya. Dan ngobrol dengannya. Ah aku adalah gadis paling bahagia saat ini.” Aku mengatakan itu dengan perasaan bahagia. Namun tak aku pungkiri pertanyaan sahabatku masih terngiang di telingaku. Karena setelah jawaban yang aku berikan tadi, dia kembali bertanya. “apa hanya itu kata yang keluar dari mulutnya? “. Selebihnya dia memberondongi aku dengan begitu banyak pertanyaan yang hampir tak dapat aku bantah. Dan karena terlalu banyak pertanyaan yang dia lontarkan, aku hampir tak dapat mencerna satu-persatu. Akibatnya hanya ada beberapa pertanyaan yang kini masih melekat di otakku. ‘apakah dia hanya merasa kasihan terhadapku, atau dia menginginkan pemberianku, atau karena dia merespon aku?’. Pertanyaan itu pun saat ini masih begitu melekat. Dan entah kenapa aku begitu enggan bertanya padanya. Juga spekulasi yang diberikan sahabatku membuatku begitu bingung. “apa kamu tahu dia seperti apa tepatnya? Atau mungkin dia juga melakukan hal yang sama terhadap gadis yang menyukai dia. Bukankah dia cukup populer?”. Ah aku tak bisa membantah lagi saat itu. Aku hanya terdiam dan mengelus Novel. Mataku menerawang jauh sekali. Keluar dari tempat kami berlibur. Aku melihat dengan jelas bahwa dia tersenyum padaku. Mengucapkan terima kasih atas oleh-oleh yang aku berikan padanya. Kemudian dia bergabung kembali dengan teman-temannya. Setiap kali dia pergi meninggalkan aku yang merasa begitu bahagia, aku hanya bisa melihat punggungnya yang bergerak menjauh. Tanpa pernah tau ekspresi apa yang dia berikan terhadap teman-temannya. 
Jika aku menngingat itu,dan menghubungkan dengan semua pertanyaan yang diberikan sahabatku, ada semacam palu yang memukul kepalaku dan memperlihatkan dimana posisiku sebenarnya, meski masih samar. Meski aku kini mulai mengetahui sebuah cinta beserta permainannya, toh pada akhirnya aku tetap mencintainya. Hem terkadang aku mulai mencari-cari alasan kenapa aku mulai mencintainya. Yah, beberapa ingatan selalu menempel erat di otaku. Salah satunya adalah ketika aku masih begitu cupu karena baru menerima gelar mahasiswa. Saat itu Inagurasi merupakan moment yang cukup penting bagi kami mahasiswa baru. Kami dari satu fakultas dikumpulkan menjadi satu pada suatu malam. Tentu saja ada syarat wajib untuk mengikuti acara itu. Salah satu yang masih aku ingat adalah wajib membawa coklat dan sepucuk bunga mawar potong warna merah. Aku hanya menjalankan saja apa yang dikatakan senior, karena jika menanyakan sesuatu yang dirasa tidak perlu akan mendatangkan banyak masalah nantinya. Dan kami memang tak boleh tahu untuk apa bunga juga coklat yang kami bawa. Acara dimulai dan kurasa biasa saja, sampai pada saat menjelang akhir, ketua panitia ospek mengatakan bahwa coklat yang kami bawa harus diberikan pada senior yang paling kami benci, dan mawar yang kami bawa pada senior yang kami suka. Dan jika membayangkan akan hal ini merasa cukup lucu juga, karena kami harus melakukan itu dalam waktu lima menit. Ah bisa dibayangkan betapa shocknya aku waktu itu, aku yang cupu tak pernah memperhatikan setiap senior yang mengospeck kami. Alhasil dalam waktu lima menit, aku tak mempu menyelesaikan tugas dadakan ini. Aku berdiri tercengang waktu itu. Karena aku tak mampu membedakan antara senior atau teman satu angkatan. Diatas kebingungan yang aku rasakan. Tiba-tiba suara senior menggelegar, memberitahu kami bahwa waktu yang diberikan telah habis. Sementara aku masih berdiri bingung. Kemudian tiba-tiba sebuah tangan menarikku dan membawaku ke panggung. Rasanya aku hampir mati ketakutan. Aku tak mampu melihat wajah orang yang menarikku itu. Karena pandanganku selalu ku arahkan ke bawah. Tak pernah aku berani melihat sekitar yang kurasa mulai memperhatikan aku. Aku berdiri diatas panggung dengan sekian banyak sorot mata. “kamu, kenapa tidak memberikan coklat dan bunga?”. Senior cowok rupanya, bisa kuketahui dari suaranya. Karena aku tak pernah berani melihat wajahnya. Jadi hanya dari suaranya aku mampu mengenalinya. Masih dengan menundukan kepalaku. Kurasakan seluruh ruangan membeku. Sunyi yang menakutkan bagiku. Aku tak dapat berpikir apa-apa. Dengan tangan gemetar. Aku menyodorkan coklat dan bunga padanya. Ah aku tak tahu apa yang kan terjadi saat itu. Dan luar biasa dia memerimanya. “jadi kamu membenciku, juga menyukaiku hah?” nadanya datar. Aku masih diam. Tak berani mengeluarkan suaraku. Kurasakan tarikan nafas di dalam ruangan begitu terasa menghimpit. Mungkin aku kehabisan oksigen karena bersaing dengan seluruh orang dalam ruangan ini yang juga menarik nafas dalam-dalam. “ hem menurutmu apa aku harus menghukummu? Atau membiarkan kamu lolos?” Tiba-tiba aku mendongak, kemudian pada saat itu juga aku melihat matanya. Ada semacam perasaan aneh saat itu. Tatapan itu hangat, meski pada awalnya aku begitu takut terhadapnya. Ada semacam rasa nyaman yang aku rasakan dari sorotan matanya. Kemudian aku kembali menunduk dan pasrah akan nasibku. “apa yang kamu inginkan?” dia bertanya padaku. Yang membuatku kembali makin khawatir. “maaf..” hanya itu yang mampu keluar dari mulutku. Ah kurasa aku bertampang sangat mengerikan saat itu. “jadi kamu memberikan keduanya pada orang yang sama hah..” kurasa kali ini seorang cewek. Ah suaranya begitu mengerikan. Ada semacam kemarahan dari nada suaranya. “apa yang akan kamu lakukan terhadapnya Yan?” “kurasa aku akan membiarkan dia lolos.. “ aku langsung menatapnya. Senior yang kuberi coklat dan bunga mendekatkan wajahnya ke wajahku. Entah mengapa jantungku berdebar sangat kencang. Ada rasa malu sekaligus grogi juga entah apa aku tak mampu menjelaskan. “hah lolos?” cewek itu seakan tidak terima. Dia melirikku. “mengapa?”. “aku mendapatkan keduanya..” cowok itu memamerkan coklat dan bunga pemberianku. Aku makin malu juga ada sedikit rasa senang, entah mengapa aku senang. Sedikit senyum tersungging dibibirku. Tentu saja tak ada yang mengetahui bahwa aku tersenyum. Karena sedari tadi aku tetap menunduk. Kenyataanya aku hampir bebas dari jeratan ini. Dan kenyataanya senior yang aku beri merasa bahwa ini adalah hal unik yang terjadi. Dan kenyataanya senior yang aku beri keduanya adalah ketua panitia. Dan aku baru menyadari hal itu setelah aku turun dari panggung. Dan mendengarkan bisikan kanan-kiriku, bahwa aku cukup beruntung karena aku berhadapan dengan ketua panitia. Yang keputusannya cukup dihormati. Ah aku kembali tersenyum. Kurasa dari itu aku mulai mempunyai banyak teman. Sebagian dari mereka mendekatiku dan mengucapkan selamat atas keberuntungan yang aku dapat. Dan dari hal ini aku tahu bahwa namanya adalah Ryan. Seniorku satu fakultas.
 Aku adalah gadis dengan sensitifitas rendah. Karena pada kenyataanya aku tak pernah menyadari ada beberapa teman juga senior yang memperhatikan aku lebih dari sekedar teman. Atau mungkin aku adalah gadis yang begitu naif tentang cinta beserta modus yang ada didalamnya. Atau pada kenyataanya aku adalah gadis bodoh yang tak pernah tahu permainan cinta. Atau aku begitu lugu? Hingga modus yang dipakai cowok untuk mendekatiku dengan alasan sahabat baik aku terima tanpa melihat modus lain di belakangnya. Hingga pada saat dia menyatakan perasaannya padaku, aku begitu kaget dan mengatakan ‘bukankah kita adalah sahabat.?’ Dan kenyataan yang aku terima dari jawaban cowok ‘yeah kita sahabat, jadi menurutmu kita tak mungkin untuk lebih dari sahabat?’. Jawaban yang aku berikan adalah ‘tidak cukupkah dengan kita bersahabat?’. Dan kemudian teman cowok yang dulu selalu menemaniku tiba-tiba menghilang meski dia mengatakan bahwa ‘yeah kita tetap sahabat’. Mungkin aku juga cewek yang tidak tahu apa yang ada dipikiran cowok. Hingga aku banyak kehilangan teman hanya karena aku tak pernah menyadari perasaan cowok itu. Atau karena aku terlalu terpaku terhadapnya sehingga tak ada hal lain yang membuatku beralih untuk melihat sekelilingku. Yah mataku juga hatiku hanya terisi olehnya. Sehingga aku tak mampu membuka pikiran bahwa ada banyak hal yang lebih menarik dari pada duduk ditempat ini dan menunggunya keluar usai kelas setiap harinya. Meski aku hanya mampu melihatnya dari jauh. Karena tak ada alasan yang bisa kuberikan saat aku tak study banding. Karena tak ada oleh-oleh yang bisa aku berikan sebagai alasan untuk sekedar berbincang sebentar dan melihatnya membawa pemberianku.
 Pernah suatu ketika ada seorang seniorku berkata bahwa aku sangat mirip adik perempuannya. Kemudian berkata, ‘kamu ku anggap adik kecilku yang lucu, ‘ hingga ketika dia selalu memberi setiap apa yang aku inginkan padahal pada saat itu aku hanya meledek dia. Dia selalu berdalih bahwa aku adalah adiknya. Jadi tak apa jika aku meminta apapun padanya. Namun kenyataan yang aku terima setelah sekian lama menjalin hubungan kakak-adik, suatu ketika dia mengungkapkan segalanya. Bahwa dia mencintaiku bahkan melebihi pada kekasihnya. Dan dia tak pernah tahu bahwa hal ini menyebabkan aku begitu dibenci oleh kekasihnya. Untuk itu pula kini aku mulai tak mempercayai laki-laki. Karena kini aku mulai mengerti cinta juga kenyataan yang ada. Kenyataan-kenyataan seperti itu kini selalu membayangiku. 
Aku adalah gadis yang sangat mudah menilai, dan terkadang penilaianku membahayakan diriku sendiri. Menilai dari masa lalu yang aku terima. Seperti kenyataan bahwa laki-laki tak selalu sama. Namun kenyataanya aku selalu takut berhubungan dengan mereka. Menilai mereka dengan sebelah pihak. Hingga sekarang aku begitu enggan memulai hubungan baru dengan seorang laki-laki. Dan alasan itu pula yang selalu aku lontarkan jika sahabatku kembali menanyakan perasaanku. Aku adalah seorang gadis yang begitu takut kehilangan meski pada kenyataanya aku telah kehilangan. Atau karena aku begitu naif mengakui kekalahanku.
 Aku adalah gadis yang begitu membenci hal-hal yang menjadi rumit. Aku mungkin adalah gadis bodoh yang selalu tak pernah menerima kenyataan. Hingga aku tetap bertahan mencintaimu. Atau gadis gila yang menunggu akan hal yang tidak akan pernah terjadi. Atau mungkin aku adalah pengecut. Yang tak pernah barani melangkah maju. Hingga hidupku tak pernah baranjak dari titik ini. Terlepas dari semua yang aku alami, aku masih saja berusaha keras untuk datang ketempat ini. Tanpa mengingat dan mengkhawatirkan kajadian dulu terulang kembali. Dimana aku telah menunggu di tempat yang sama, sesuai pasannya. Bahwa sore itu dia akan datang menemuiku. 
Aku menunggu dengan berbagai perasaan yang ada. Antara takut, bingung, senang, cangung semuanya menjadi satu dan aku tak mempu membedakan semuanya. Saat itu untuk menghilangkan atau setidaknya menyamarkan kekhawatiranku. Aku mengajak Novel bercerita. Sampai terdengar langkah kaki mendekat. Aku segera melihat dan mengarahkan pandanganku terhadapnya. Yang kudapati bukan Ryan yang aku tunggu tapi seorang wanita anggun, datang menghampiriku. Wajahnya cantik. Tapi entah mengapa ada hal ganjil yang aku rasakan. “apa kamu Andra? Tingkat satu?” nadanya dingin, tak kutemukan keramahan dari nada suaranya. Aku mengangguk. Dia meletakan tempat makan yang aku berikan pada seniorku. Dan berkata bahwa mungkin aku layak jadi pengusaha katering. Aku tak mengerti ini pujian atau sindiran. Yang jelas yang datang bukan dia. Aku masih duduk terpaku dan tak pernah mengerti kode semacam itu. Yang ada dipikiranku adalah mungkin saja dia sedang sibuk, atau tiba-tiba dia ada urusan sehingga tak mampu mengantar sendiri kotak makan ini. Dan juga berbagai dugaan lain yang ku akui benar-benar payah. Aku terkadang tak habis pikir terhadap diriku sendiri. Begitu mudahnya aku membuat analisa yang selalu membela dia. Meski begitu kurasa ada sedikit rasa kecewa. Namun meski aku talah merasa kecewa sejak awal, pada kenyataannya aku tetap tak berhenti mencintainya. Kejadian itu adalah kejadian pertama yang membuatku kecewa namun setelah kejadian itu, dia terus saja melakukan hal ini. 
Pernah suatu senja dimusim kemarau seperti saat ini. Aku menantinya karena aku telah berjanji, selepas perjalananku dari Malaysia untuk studi banding komunitas fotografer. Aku akan membawakannya oleh-oleh. Dan seperti sebelumnya juga, aku menunggunya disini. Namun pada saat itu dia tidak juga muncul. Ada semacam perasaan gelisah yang mengalir disetiap hembusan nafasku. Kicau burung senja memberitahuku bahwa aku harusnya telah berada di rumah. Namun aku masih saja menunggu. Sampai matahari telah benar-benar beranjak tidur, dia tidak juga datang. Akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan oleh-oleh yang kubawa di parkiran. Tempat dimana dia biasa meletakan sepedanya. Berharap keesokan harinya dia akan menemukan itu. Dan membawanya pulang. Kemudian keesokan harinya aku bersepeda bersama Novel dipagi hari. Tujuanku untuk memastikan bahwa dia telah menemukan itu. Namun sampai senja kembali menyapa, bungkusan yang aku siapkan untuknya masih juga berada ditempat yang sama. Sampai akhirnya aku melihat, bahwa bungkusan itu diambil oleh orang selain dia. 
Aku adalah gadis yang selalu terobsesi akan sesuatu. Sampai aku berhasil mendapatkannya maka aku baru akan berhenti untuk mengejarnya. Sama halnya dengan kehidupan kampusku. Aku masih saja belum bisa mencintai jurusanku. Meski ku akui usahaku untuk mencintai jurusanku cukup keras. Entahlah kenapa aku bisa masuk ke jurusan ini, terkadang aku sempat berpikir untuk melepas usahaku tetap bertahan disini. Namun rupanya waktu mencegahku untuk menyerah. Karena disini pula aku mengenal Dia. itu memberiku semacam kemauan untuk tetap bertahan disini. Kupikir pertanian tidak buruk juga. Mungkin nantinya aku akan memilih menjadi dosen. Dari pada harus turun ke lapangan langsung. Itu adalah rencana kecilku. 
Dingin ini seolah mengatakan dan menyuruhku mundur. Memberitahuku bahwa berdiam diri di kamar kontrakan dengan segelas teh hangat dan beberapa biskuit akan lebih baik dari pada menghirup udara penuh air. Hingga hidungku mulai mampet. Dingin pula yang seolah berusaha menghalangi dan menggagalkan usahaku untuk datang kesini. Bogor adalah kota dingin yang selalu kurasa menyenangkan sejauh ini. Bersepeda bersama Novel dipagi hari akan memberi semacam perasaan unik. Membuatku merasa jika aku sedang bersepeda di atas awan. Karena sekelilingku berwarna putih. Sejuknya embun yang menerpa wajahku membuarku merasakan sensasi luar biasa. Terkadang aku sengaja bersepeda ke pedesaan. Kemudian berhenti dan merentangkan tanganku di sebuah bukit. Hidupku indah sejauh ini. 
Novel masih terus tidur dikandangnya yang ku buat agar tetap hangat. Kandang itu ku letakan didepan setang. Dilengkapi dengan penutup agar ketika aku menguyuh sepedaku, aku tak terganggu olehnya yang terkadang berontak. Sehingga aku bisa membawa Novel kemanapun. Yah karena sejauh ini hanya dia yang selalu menemaniku. Bahkan sampai detik ini. Ketika kuputuskan untuk lebih berani. Namun jika aku memikirkan lagi, aku ingin lari saja dari sini. Tapi kurasa aku tak bisa berlari lebih jauh lagi. Sementara aku berlari, hanya kebimbangan yang aku dapatkan. Kata-kata sahabatku begitu mengiris hatiku. Karena itu pula aku ingin mengetahui sedikit tentang kebenaran. Kurasakan waktu yang berjalan begitu lambat. Karena sejauh ini ternyata aku baru menghabisakan setengah jam dibawah dingin ini. Padahal kukira aku telah seharian menunggu disini. Jika saja sudah seharian mungkin aku akan punya alasan untuk kembali menunda mencari kebenaran. Seperti pahlawan super saja. Yang bertugas mencari dan mempertahankan kebenaran. Namun bedanya kebenaran yang aku cari bukan seperti dalam film heros. Kebenaran bahwa aku setidaknya bukan gadis bodoh tentang cinta. Aku kini mulai duduk tidak tenang. Antara ingin segera pergi atau tetap disini menemukan jawaban yang selama ini aku ingin dengar. Jika saja tidak ada hari itu, ,maka mungkin sekarang aku sedang minum teh dengan ditemani biskuit. Kejadian yang membuatku menjadi ragu akan semua hal tentang dirimu. Saat itu hatiku masih begitu polos. 
Kekalahan bagiku adalah hal yang biasa. Saat itu aku masih belum mengerti tentang kekalahan dalam cinta. Yang kutahu adalah setiap orang berhak mencintai siapapun. Yah memang benar setiap orang mempunyai hak tersebut. Namun adakalanya mundur ketika mengetahui dirinya kalah. Dimana sisi kalah dalam cinta ataukah yang aku alami ini adalah kekalahan telak? Aku mesih terus memikirkan hari itu. Hari dimana hatiku benar-benar membeku. Dingin dan begitu tak terarah. Dimana aku mendengar bahwa kau tak mungkin mencintaiku. Kata-kata yang keluar lewat mulutmu sendiri. Serasa menghentikan waktu untuk membuatku semakin merasakan aliran udara yang berhembus menggesek kulitku. Merasakan suara dedaunan yang entah mengapa aku benar benar membencinya bukan karena suaranya yang jelek, melainkan tertawaan mereka yang semakin membuatku terjatuh.
 Aku mungkin seorang gadis yang tak pernah mengaku kalah meski telah tahu bahwa aku kalah. Atau seperti apakah diriku? Dan kini ketika aku ingin mengetahui seberapa kalahnya aku. Ada semacam batu besar yang menindih dadaku. Hingga udara dari luar harus mendesak masuk. Batu itu semakin menghimpit sementara aku mengingat setiap hal yang aku lakukan disini. Kurasakan bahwa aku tak mampu lagi berdiri. Dan kupikir juga aku telah memutuskan bahwa aku kalah. Setiap kali aku mengulang kata ‘kalah’ dadaku rasanya mencelos. Jika saja tidak ada paru-paru yang membantu bernafas. Mungkin saja sekarang hatiku telah mati. Memutuskan pergi kesini adalah hal yang sangat berat yang kulakukan setelah sebelumnya aku begitu bersemangat setiap kali aku berdiri disini. Juga sekarang aku tak mau ragu-ragu lagi.
 Aku ingin menyelesaikan semuanya. Ku hembuskan nafas yang berat. Kurasa aku sekarang mengetahui kebenaran akan dirimu. Dan aku masih berusaha mengartikan kekalahanku, untuk itu aku memutuskan berbalik arah. Dan menjauh dari tempat ini. Begitupun hatiku pada hatimu. 

Pedurungan, Semarang 29 Sept 2012 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar